Sabtu, 07 Mei 2011

overheating dan inflasi di Indonesia



I. OVERHEATING.
Overheating adalah suatu keadaan dimana meningkatnya tingkat inflasi pada suatu negara. Dan menurut Investopedia explains Overheated Economy Investopedia menjelaskan Kepanasan Ekonomi. Meningkatnya tingkat inflasi biasanya salah satu tanda pertama bahwa perekonomian adalah overheating. Akibatnya, pemerintah dan bank sentral biasanya akan menaikkan suku bunga dalam upaya untuk menurunkan jumlah pengeluaran dan pinjaman. Antara Juni 2004 dan Juni 2006, Federal Reserve Board meningkatkan tingkat suku bunga 17 kali sebagai sarana bertahap perlambatan ekonomi Amerika terlalu panas. Tindakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk mempengaruhi kegiatan ekonomi, khususnya dengan memanipulasi jumlah uang beredar dan bunga suku. Moneter dan kebijakan fiskal dua cara di mana pemerintah berusaha untuk mencapai atau mempertahankan tingkat tinggi kerja, stabilitas harga, dan pertumbuhan ekonomi . Kebijakan moneter diarahkan oleh negara bank sentral. Di AS, kebijakan moneter merupakan tanggung jawab dari Federal Reserve System , yang menggunakan tiga instrumen utama: operasi pasar terbuka s, tingkat diskonto , dan persyaratan cadangan. Dalam Perang Dunia II-era pasca, ekonom mencapai kesepakatan bahwa, dalam jangka panjang, inflasi terjadi ketika jumlah uang beredar terlalu cepat tumbuh pada suku.

II. INFLASI
Inflasi dapat diartikan sebagai meningkatnya harga-harga secara umum dan terus menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi kecuali bila kenaikan itu meluas (atau mengakibatkan kenaikan harga) pada barang lainnya. Kebalikan dari inflasi disebut deflasi.  Ada tiga aspek penting dalam definisi inflasi, yaitu sebagai berikut :
§  Adanya kecenderungan harga-harga untuk meningkat, yang berarti mungkin saja tingkat harga yang terjadi/actual pada waktu tertentu turun atau naik dibandingkan dengan sebelumnya, tetapi tetap menunjukkan kecenderungan yang meningkat.
§  Peningkatan harga tersebut berlangsung terus-menerus, yang berarti bukan terjadi pada suatu waktu saja.
§  Mencakup pengertian tingkat harga umum, yang berarti tingkat harga yang meningkat bukan hanya pada satu waktu atau beberapa komoditas saja.
Berdasarkan sumber timbulnya, inflasi dibedakan menjadi dua.
a. Inflasi yang berasal dari luar negeri, misalnya sebagai akibat terjadinya deficit anggaran belanja yang dibiayai dengan cara mencetak uang baru dan gagalnya pasar yang berakibat harga bahan makanan menjadi mahal.
b. Inflasi yang berasal dari luar negeri, yaitu inflasi sebagai akibat naiknya harga barang impor. Hal ini bisa terjadi akibat biaya produksi barang di luar negeri tinggi atau adanya kenaikan tarif impor barang.
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya inflasi adalah sebagai berikut :
1) Tarikan Pemerintaan (Demand Pull Inflation)
Meningkatnya permintaan terhadap produksi menyebabkan harga faktor produksi meningkat.
2) Desakan Biaya (Cost Push Inflastion)
Biasanya pada batas demand inflation ada kecenderungan untuk meningkatkan produksi akibat meningkatnya permintaan dari masyarakat, akan tetapi kenaikan harga tersebut diikuti dengan menurunnya omzet penjualan sebagai akibat kelesuan pasar sekalipun harga meningkat.
3) Inflasi Campuran
Inflasi campuran adalah inflasi yang terjadi disebabkan oleh kombinasi (campuran) antara unsur inflasi tarikan permintaan dan inflasi dorongan biaya.
4) Inflasi Impor atau Imported Inflation
Inflasi jenis ini terjadi karena pengaruh inflasi dari luar negeri, yaitu akibat danya perdagangan antarnegara.

Indikator yang sering digunakan untuk mengukur tingkat inflasi adalah Indeks Harga Konsumen (IHK). Indeks Harga Konsumen adalah ukuran rata-rata perubahan harga dari suatu paket komoditas (commodity basket) dalam suatu kurun waktu tertentu atau antarwaktu.
Tujuan penghitungan IHK adalah sebagai berikut.
a. Mengetahui perkembangan harga barang dan jasa yang tergantung pada diagram timbangan IHK
b. Sebagai pedoman untuk menentukan suatu kebijaksanaan yang akan datang, terutama di bidang pembangunan ekonomi.
c. Sebagai penghitungan penyesuaian Upah Minimum Kabupaten (UMK)
d. Mempermudah pemantauan supply dan demand khususnya barang kebutuhan masyarakat yang ada di pasar.
Perubahan IHK dari waktu ke waktu menunjukkan pergerakan harga dari paket barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat. Sejak Juli 2008, paket barang dan jasa dalam keranjang IHK telah dilakukan atas dasar Survei Biaya Hidup (SBH) Tahun 2007 yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Kemudian, BPS akan memonitor perkembangan harga dari barang dan jasa tersebut secara bulanan di beberapa kota, di pasar tradisional dan modern terhadap beberapa jenis barang/jasa di setiap kota.
Indikator inflasi lainnya berdasarkan international best practice antara lain:
  1. Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB). Harga Perdagangan Besar dari suatu komoditas ialah harga transaksi yang terjadi antara penjual/pedagang besar pertama dengan pembeli/pedagang besar berikutnya dalam jumlah besar pada pasar pertama atas suatu komoditas.
  2. Deflator Produk Domestik Bruto (PDB) menggambarkan pengukuran level harga barang akhir (final goods) dan jasa yang diproduksi di dalam suatu ekonomi (negeri). Deflator PDB dihasilkan dengan membagi PDB atas dasar harga nominal dengan PDB atas dasar harga konstan.
  Pengelompokan Inflasi
Inflasi yang diukur dengan IHK di Indonesia dikelompokan ke dalam 7 kelompok pengeluaran (berdasarkan the Classification of individual consumption by purpose - COICOP), yaitu :
  1. Kelompok Bahan Makanan
  2. Kelompok Makanan Jadi, Minuman, dan Tembakau
  3. Kelompok Perumahan
  4. Kelompok Sandang
  5. Kelompok Kesehatan
  6. Kelompok Pendidikan dan Olah Raga
  7. Kelompok Transportasi dan Komunikasi.
Disamping pengelompokan berdasarkan COICOP tersebut, BPS saat ini juga mempublikasikan inflasi berdasarkan pengelompokan yang lainnya yang dinamakan disagregasi inflasi. Disagregasi inflasi tersebut dilakukan untuk menghasilkan suatu indikator inflasi yang lebih menggambarkan pengaruh dari faktor yang bersifat fundamental.
Di Indonesia, disagegasi inflasi IHK tersebut dikelompokan menjadi:
  1. Inflasi Inti, yaitu komponen inflasi yang cenderung menetap atau persisten (persistent component) di dalam pergerakan inflasi dan dipengaruhi oleh faktor fundamental, seperti:
    • Interaksi permintaan-penawaran
    • Lingkungan eksternal: nilai tukar, harga komoditi internasional, inflasi mitra dagang
    • Ekspektasi Inflasi dari pedagang dan konsumen
  2. Inflasi non Inti, yaitu komponen inflasi yang cenderung tinggi volatilitasnya karena dipengaruhi oleh selain faktor fundamental. Komponen inflasi non inti  terdiri dari :
    • Inflasi Komponen Bergejolak (Volatile Food) :
      Inflasi yang dominan dipengaruhi oleh shocks (kejutan) dalam kelompok bahan makanan seperti panen, gangguan alam, atau faktor perkembangan harga komoditas pangan domestik maupun perkembangan harga komoditas pangan internasional. 
    • Inflasi Komponen Harga yang diatur Pemerintah (Administered Prices) :
      Inflasi yang dominan dipengaruhi oleh shocks (kejutan) berupa kebijakan harga Pemerintah, seperti harga BBM bersubsidi, tarif listrik, tarif angkutan, dll.
Determinan Inflasi
Inflasi timbul karena adanya tekanan dari sisi supply (cost push inflation), dari sisi permintaan (demand pull inflation), dan dari ekspektasi inflasi. Faktor-faktor terjadinya cost push inflation dapat disebabkan oleh depresiasi nilai tukar, dampak inflasi luar negeri terutama negara-negara partner dagang, peningkatan harga-harga komoditi yang diatur pemerintah (administered price), dan terjadi negative supply shocks akibat bencana alam dan terganggunya distribusi.
Faktor penyebab terjadi demand pull inflation adalah tingginya permintaan barang dan jasa relatif terhadap ketersediaannya. Dalam konteks makroekonomi, kondisi ini digambarkan oleh output riil yang melebihi outputpotensialnya atau permintaan total (agregate demand) lebih besar dari pada kapasitas perekonomian. Sementara itu, faktor ekspektasi inflasi dipengaruhi oleh perilaku masyarakat dan pelaku ekonomi dalam menggunakan ekspektasi angka inflasi dalam keputusan kegiatan ekonominya. Ekspektasi inflasi tersebut apakah lebih cenderung bersifat adaptif atau forward looking. Hal ini tercermin dari perilaku pembentukan harga di tingkat produsen dan pedagang terutama pada saat menjelang hari-hari besar keagamaan (lebaran, natal, dan tahun baru) dan penentuan upah minimum regional (UMR). Meskipun ketersediaan barang secara umum diperkirakan mencukupi dalam mendukung kenaikan permintaan, namun harga barang dan jasa pada saat-saat hari raya keagamaan meningkat lebih tinggi dari komdisi supply-demandtersebut. Demikian halnya pada saat penentuan UMR, pedagang ikut pula meningkatkan harga barang meski kenaikan upah tersebut tidak terlalu signifikan dalam mendorong peningkatan permintaan. 
Kestabilan inflasi merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan yang pada akhirnya memberikan manfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pentingnya pengendalian inflasi didasarkan pada pertimbangan bahwa inflasi yang tinggi dan tidak stabil memberikan dampak negatif kepada kondisi sosial ekonomi masyarakat.
Pertama, inflasi yang tinggi akan menyebabkan pendapatan riil masyarakat akan terus turun sehingga standar hidup dari masyarakat turun dan akhirnya menjadikan semua orang, terutama orang miskin, bertambah miskin.
Kedua, inflasi yang tidak stabil akan menciptakan ketidakpastian (uncertainty) bagi pelaku ekonomi dalam mengambil keputusan. Pengalaman empiris menunjukkan bahwa inflasi yang tidak stabil akan menyulitkan keputusan masyarakat dalam melakukan konsumsi, investasi, dan produksi, yang pada akhirnya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi.
Ketiga, tingkat inflasi domestik yang lebih tinggi dibanding dengan tingkat inflasi di negara tetangga menjadikan tingkat bunga domestik riil menjadi tidak kompetitif sehingga dapat memberikan tekanan pada nilai rupiah.



Cara-cara Mengatasi Inflasi :
     1. Kebijakan Moneter
Kebijakan moneter adalah segala kebijakan pemerintah di bidang moneter (keuangan) yang dilakukan melalui Bank Indonesia (bank sentral) tujuannya menjaga kestabilan moneter agar kesejahteraan rakyat meningkatkan.
2. Kebijakan Fiskal
Kebijakan ini dilakukan oleh pemerintah sejalan dengan kebijakan moneter, ada 3 (tiga) cara yang dilakukan dalam kebijakan fiscal, yaitu sebagai berikut.
a. Mengatur penerimaan dan pengeluaran pemerintah
b. Menaikkan tarif pajak.
c. Mengadakan pinjaman pemerintah.
3. Kebijakan Nonmoneter (Kebijakan Riil)
Kebijakan ini bisa ditempuh dengan cara berikut.
a. Menaikkan hasil produksi agar tingkat konsumsi bertambah, sehingga akan menambah uang beredar.
b. Kebijakan upah yang disepakati dengan serikat-serikat buruh agar tidak terjadi banyak tuntutan selama inflasi.
c. Pengawasan dan epnetapan harga karena pengawasan yang tidak intensif dapat menimbulkan pasar gelap (black market).
Dampak Inflasi
 1) Dampak inflasi terhadap perekonomian sebagai berikut.
a) invenstasi berkurang akibat turunnya nilai uang yang mengurangi minat orang untuk menabung dan pertumbuhan output nasional dapat turun.
b) Mendorong tingkat bunga melalui lembaga keuangan/perbankan untuk menghindari merosotnya nilai uang.
c) Mendorong tindakan spekulatif.
Pengendalian Inflasi
Kebijakan moneter Bank Indonesia ditujukan untuk mengelola tekanan harga yang berasal dari sisi permintaan aggregat(demand management) relatif terhadap kondisi sisi penawaran. Kebijakan moneter tidak ditujukan untuk merespon kenaikan inflasi yang disebabkan oleh faktor yang bersifat kejutan yang bersifat sementara (temporer) yang akan hilang dengan sendirinya seiring dengan berjalannya waktu.
Sementara inflasi juga dapat dipengaruhi oleh faktor yang berasal dari sisi penawaran ataupun yang bersifat kejutan (shocks) seperti kenaikan harga minyak dunia dan adanya gangguan panen atau banjir Dari bobot dalam keranjang IHK, bobot inflasi yang dipengaruhi oleh faktor kejutan diwakili oleh kelompok volatile food dan administered prices yang mencakup kurang lebih 40% dari bobot IHK.
Dengan demikian, kemampuan Bank Indonesia untuk mengendalikan inflasi sangat terbatas apabila terdapat kejutan (shocks) yang sangat besar seperti ketika terjadi kenaikan harga BBM di tahun 2005 dan 2008 sehingga menyebabkan adanya lonjakan inflasi.
Dengan pertimbangan bahwa laju inflasi juga dipengaruhi oleh faktor yang bersifat kejutan tersebut maka pencapaian sasaran inflasi memerlukan kerjasama dan koordinasi antara pemerintah dan BI melalui kebijakan makroekonomi yang terintegrasi baik dari kebijakan fiskal, moneter maupun sektoral. Lebih jauh, karakteristik inflasi Indonesia yang cukup rentan terhadap kejutan-kejutan (shocks) dari sisi penawaran memerlukan kebijakan-kebijakan khusus untuk permasalahan tersebut.
Dalam tataran teknis, koordinasi antara pemerintah dan BI telah diwujudkan dengan membentuk Tim Koordinasi Penetapan Sasaran, Pemantauan dan Pengendalian Inflasi (TPI) di tingkat pusat sejak tahun 2005. Anggota TPI, terdiri dari Bank Indonesia dan departmen teknis terkait di Pemerintah seperti Departemen Keuangan, Kantor Menko Bidang Perekonomian, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Departemen Perdagangan, Departemen Pertanian, Departemen Perhubungan, dan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Menyadari pentingnya koordinasi tersebut, sejak tahun 2008 pembentukan TPI diperluas hingga ke level daerah. Ke depan, koordinasi antara Pemerintah dan BI diharapkan akan semakin efektif dengan dukungan forum TPI baik pusat maupun daerah sehingga dapat terwujud inflasi yang rendah dan stabil, yang bermuara pada pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan dan berkelanjutan
















PERKEMBANGAN INFLASI DI INDONESIA

A.   INFLASI TAHUN 2005
Tingginya inflasi 2005 dipengaruhi oleh dampak signifikan kenaikan harga BBM baik melalui dampak langsung (first round) maupun dampak lanjutan (second round). Kenaikan harga BBM sebanyak 2 kali pada 2005, khususnya kenaikan pada tanggal 1 oktober 2005, mengakibatkan inflasi melonjak menjadi dua digit, yakni dari 9,06 % (yoy) pada bulan september menjadi 17,89 % (yoy) pada oktober 2005. Selain itu, beberapa kebijakan administered prices turut mendorong kenaikan harga – harga.
Gangguan pasokan dan distribusi yang terjadi di 2005 juga memberikan tekanan harga cukup besar. Gangguan pasokan dan distribusi ini, antara lain disebabkan oleh adanya penimbunan bahan – bahan pokok menyusul adanya kecenderungan kenaikan harga dan kelangkaan pasokan BBM di berbagai daerah, sehingga semakin meningkatkan tekanan inflasi.
Depresiasi rupiah yang cukup besar dan ekspektasi  inflasi yang cenderung meningkat sepanjan 2005  turut memberikan tekanan terhadap inflasi. Meskipun demikian, tekanan dari depresiasi rupiah relatif masih terbatas. Terbatasnya dampak pelemahan rupiah terhadap inflasi disebabkan oleh kecenderungan para produsen untuk menahan sebagian kenaikan harga yang bersumber dari depresiasi rupiah mengingat  terbatasnya daya beli masyarakat. Secara keseluruhan, tekanan inflasi yang masih kuat ini menjadikan ekspektasi inflasi dan dampak pelemahan kurs rupiah ini mendorong inflasi inti meningkat menjadi 9,75 % (yoy) di akhir 2005.
A.1 Inflasi IHK
Tingginya inflasi IHK 2005, didorong oleh kenaikan harga barang-barang yang terkena dampak kenaikan harga BBM dan terganggunya pasokan dan distribusi. Peningkatan laju inflasi tahunan  (y-o-y) terutama terjadi pada kelompok transportasi dan komunikasi (sebesar 44, 75 %), diikuti oleh kelompok perumahan (13,91%), kelompok bahan makanan (13,91%)dan kelompok makanan jadi, minuman dan rokok (13,71%). Dilihat dari kenaikan harga, inflasi untuk seluruh barang di 2005 lebih tinggi dibandingkan di 2004, kecuali untuk kelmpok pendididkan, rekreasi dan olahraga (grafik 4.1).
Kelompok barang yang memberikan andil terbesar pada tekanan inflasi berasal dari transportasidan komunikasi. Kelompok ini memberi sumbangan sekitar 6,25%. Disebabkan oleh kenaikan harga BBM yang sangat besar.
Pengaruh kenaikan harga BBM, terutama minyak tanah, mengakibatkan sumbangan inflasi cukup tinggi pada kelompok perumahan, yakni sebesar 3,78%. Sementara itu, sumbangan inflasi kelompok bahan makanan dan makanan jadi masing-masing mencapai 3,38% dan 2,42%. Tingginya sumbangan kedua kelompok ini tidak terlepas dari permasalahan gangguan pasokan, penimbunan, dan tersendatnya arus distribusi barang dan jasa akibat kelangkaan BBM di berbagai daerah. Sementara itu, kelompok sandang, kesehatan dan pendidikan memberikan sumbangan yang relatif kecil, masing-masing sebesar 0,43% , 0,26% , dan 0,54% (grafik 4.2)
A.2 Indikator Inflasi Lainnya
Sejalan dengan perkembangan inflasi IHK, indikator –indikator inflasi lainnya juga menunjukkan kecenderungan yang meningkat. Inflasi IHPB (indeks harga pedagang basar) bahkan sudah menunjukkan peningkatan sejak 2004 dimana inflasi IHPB mencapai 11,82% (yoy) di saat inflasi IHK hanya mencapai 6,4% (yoy). Untuk 2005 IHPB mencapai 23% (yoy), jauh lebih tinggi dari inflasi IHK yang mencapai  17,11%(yoy). Tingginya inflasi IHPB disumbang oleh peningkatan harga barang di seluruh sektor, terutama sektor manufaktur (grafik 4.3)
Perkembangan deflator PBD juga terus meningkat. Sampai dengan triwulan IV-2005 deflator PBD sudah mencapai 19,19%(yoy), lebih tinggi dibandingkan inflasi IHK pada triwulan yang sama yang hanya sebesar 17,11%(yoy). Secara sektorial, tingginya angka deflator didorong oleh peningkatan deflator disektor pertambangan dan penggalian. Kenaikan tersebut didorong oleh kenaikan deflator subsektor migas dan juga subsektor pertambangan lainnya.
Lebih tingginya angka inflasi IHPB maupun deflator PDB dibandingkan dengan inflasi IHK menunjukkan bahwa struktur biaya untuk produksi barang dan jasa sesungguhnya sudah meningkat. Peningkatan biaya produksi tersebut terutama disebabkan oleh meningkatnya harga BBM untuk industri dan melemahnya nilai tukar sampai dengan triwulan II-2005. Namun demikian, produsen berusaha untuk menahan kenaikan harga jual produk dengan pertimbangan melemahnya permintaan konsumen.
A.3 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INFLASI
Berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhinya, inflasi IHK 2005 dipengaruhi oleh faktor nonfundamental dan fundamental. Inflasi IHK didorong oleh faktor nonfundamental berupa kenaikan harga barang administered. Kenaikan harga barang administered terbesar terjadi pada harga BBM sebesar 155%. Selain itu administered prices lainnya seperti tarif angkutan, elpiji, cukai rokok, dan tarif tol juga turut memberikan tekanan inflasi. Faktor fundamental yang juga turut mendorong tingginya inflasi adalah gangguan pasokan dan distribusi. Gangguan ini terjadi karena kenaikan harga dan kelangkaan pasokan BBM di berbagai daerah maupun kasus penimbunan yang mengakibatkan distribusi barang terganggu. Berbagai gangguan tersebut menyebabkan tingginya kenaikan harga bahan makanan (volatile food) yakni sebesar 15,51% (yoy), dengan sumbangan inflasi volatile food terhadap inflasi IHK sebesar 2,77%.
Terkendalinya laju inflasi 2004 tidak terlepas dari terkendalinya kenaikan administered prices dan harga volatile food. Kondisi ini sejalan dengan tidak adanya kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga kelompok barang yang bersifat strategis seperti harga BBM dan TDL. Di samping itu, produksi beras  pada 2004 yang relatif lebih baik telah diikuti dengan melimpahnya pasokan dan relatif  terjaganya arus distribusi barang, sehingga memberikan kontribusi pada terkendalinya inflasi kelompok volatile food yang mencatat sebesar 6,5 %(yoy).
Sementara itu faktor fundamental yang mendorong tingginya tekanan inflasi 2005 berasal dari depresiasi nilai tukar rupiah, dan peningkatan ekspektasi inflasi, sedangkan kesenjangan output belum memberikan tekana inflasi yang berarti. Tekanan fundamental lain yang mempengaruhi inflasi adalah meningkatnya ekspektasi inflasi yang didorong oleh kenaikan harga BBM dan pelemahan nilai tukar rupiah. Pelemahan nilai tukar rupiah juga memberikan tekanan terhadap inflasi terutama melalui ekspektasi inflasi.
v  FAKTOR NONFUNDAMENTAL (SHOCKS)
KEBIJAKAN PEMERINTAH DI BIDANG HARGA (ADMINISTERED PRICES)
Tingginya harga minyak internasional telah menyebabkan membengkaknya jumlah subsidi BBM yang harus disediakan oleh pemerintah. Di tengah terbatasnya kemampuan keuangan negara dan adanya keinginan pemerintah untuk mengalokasikan subsidi BBM, Pemerintah mengambil keputusan yang sulit untuk mengurangi subsidi BBM. Di samping dampak kenaikan harga BBM tersebut, komoditas administered prices yang mengalami kenaikan harga selama 2005 adalah elpiji, cukai rokok, tarif PAM dan tarif tol.
Seiring dengan kenaikan BBM, pemerintah berupaya untuk mengendalikan dampak lanjutan (second round) melalui penetapan kenaikan tarif angkutan yang terukur. Namun demikian, dalam pelaksanaannya tarif  yang ditetapkan tersebut tidak dipatuhi oleh operator sehingga kenaikan tarif transportasi secara umum meningkat lebih tinggi dibandingkan tarif yang ditetapkan secara resmi. Kenaikan tarif transportasi yang lebih tinggi terjadi di berbagai daerah sehingga memicu kenaikan harga barang-barang lain akibat kenaikan biaya produksi.
  • VOLATILE FOOD
o        Akhir 2005, inflasi volatile food mencapai 15,51%, jauh lebih tinggi dari inflasi tahun sebelumnya sebesar 6,54%. Kondisi tersebut disebabkan oleh peningkatan harga bahan makanan terutama beras dan bumbu-bumbuan berkaitan dengan berbagai gangguan pasokan dan distribusi di berbagai daerah serta kinerja produksi yang tidak sebaik tahun sebelumnya. Disamping itu, peningkatan harga bumbu - bumbuan terutama cabe merah disebabkan oleh peningkatan permintaan di tengah pasokan yang terbatas akibat perubahan cuaca. Kenaikan harga BBM, dibeberapa daerah akibat kelangkaan BBM pada triwulan III-berkaitan dengan itu rencana kenaikan harga BBM-dan kenaikan BBM per tanggal 1 Oktober 2005 menyebabkan peningkatan biaya transportasi yang mendorong kenaikan inflasi volatile food pada akhir 2005.
v    Faktor fundamental
  • Ekspektasi inflasi     
Selama 2005, ekspektasi inflasi meningkat, terutama menjelang diterapkannya kenaikan BBM pada 1 Oktober 2005. Perkembangan nilai tukar yang cenderung melemah turut mendorong peningkatan ekspektasi inflasi. Kenaikan   BBM semakin memperburuk ekspektasi inflasi masyarakat.
  • Eksternal
Tekanan inflasi dari faktor fundamental pada 2005 selain berasal dari ekpektasi inflasi juga dipengaruhi oleh kecenderungan melemahnya nilai tukar sejak awal tahun. Nilai tukar rupiah yang melemah sekitar 8,6% memberikan tekanan terhadap perkembangan harga barang dan jasa. Tekanan dari passthrough nilai tukar tersebut berkaitan dengan kecenderungan pengusaha untuk menahan kenaikan harga barang seiring dengan lemahnya daya beli masyarakat. Tekanan direct passthrough nilai tukar tersebut tercermin pada inflasi IHPB impor yang senantiasa berada di atas inflasi IHK sejak awal tahun sampai dengan bulan September 2005. Bulan September, inflasi IHK melonjak tinggi di atas inflasi IHPB impor. Namun disinyalir4 disebabkan oleh kenaikan BBM.
o   Inflasi barng impor menunjukkan kecenderungan yang meningkat pada 2005, searah dengan depresiasi rupiah. Hal ini menunjukkan bahwa beberapa komoditas yang termasuk dalam keranjang IHK terjadi passthrough nilai tukar. Namun, bobot barang impor tersebut relatif kecil, yaitu sekitar 13%, sehingga dampaknya relatif kecil. Inflasi kelompok traded juga menunjukkan kecenderungan meningkat sejak 2004 dan berlanjut pada paruh kedua 2005. Peningkatan inflasi traded seiring dengan tren melemahnya nilai tukar rupiah. Namun, lonjakan inflasi kelompok traded pada akhir 2005 lebih disebabkan oleh kenaikan harga BBM.
·        Faktor Interaksi antara Sisi Permintaan dan Penawaran   Agregate
Pertumbuhan ekonomi pada 2005 yang sedikit lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya mengindikasikan bahwa tekanan inflasi dari sisi permintaan meningkat. Namun demikian, peningkatan permintaan tersebut masih dapat dipenuhi oleh sisi penawaran mengingat masih terdapatnya ruang bagi ekspansi ekonomi. Di sisi permintaan agregat, laju konsumsi dan permintaan domestik melambat secara keseluruhan. Melambatnya permintaan domestik sejalan dengan semakin melambatnya pertumbuhan daya beli riil masyarakat karena tingginya kenaikan BBM, dan dampak ikutannya. Perlambatan tersebut tercermin dari survei ekspektasi konsumen terhadap kondisi penghasilan dan perekonomian secara keseluruhan yang mengalami penurunan. Perkembangan permintaan agregat yang terjadi masih dapat direspons oleh penawaran agregate. Jika permintaan terus meningkat, kemampuan sisi penawaran untuk memenuhi peningkatan sisi permintaan di masa mendatang perlu mendapat perhatian. Disimpulkan bahwa selama 2005 tekanan inflasi yang bersumber dari interaksi penawaran dan permintaan belum signifikan.

A.4 KEBIJAKAN YANG DITEMPUH DALAM PENGENDALIAN INFLASI
Kebijakan tersebut ditempuh dengan mengendalikan permintaan agregat, menjaga stabilitas nilai tukar, dan mengarahkan ekspektasi masyarakat. Berbagai kebijakan tersebut berhasil menahan akselerasi inflasi dan spiral depresiasi sehingga inflasi diperkirakan dapat kembali kepada level yang lebih rendah. Untuk meningkatkan koordinasi kebijakan dalam pengendalian inflasi, pada 2004 dibentuk Tim Pengendalian Inflasi yang beranggotakan berbagai instansi Pemerintah maupun Bank Indonesia. Sebagai langkah awal pada 2005 Tim telah meyusun roadmap kebijakan secara menyeluruh dan terintegrasi untuk pengendalian inflasi. Roadmap ini merupakan rangkuman dari kebijakan yang telah dan akan dilakukan oleh masing-masing instansi anggota Tim dalam rangka pencapaian sasaran inflasi dan sekaligus menjadi acuan bagi anggota Tim dalam pelaksanaan kebijakan masing-masing anggota. Roadmap berfungsi sebagai alat monitoring dan evaluasi kebijakan yang dilakukan oleh masing-masing anggota. Roadmap diperlukan untuk memperkuat sinergi kebijakan dalam mencapai sasaran-sasaran dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Pada prinsipnya kebijakan yang terangkum dalam roadmap ini bukan merupakan kebijakan yang baru tetapi merupakan bagian dari Recana Kerja Pemerintah (RKP) yasng memiliki keterkaitan erat dengan pengendalian inflasi. Roadmap pengendalian inflasi disususn dari hasil identifikasi terhadap sumber-sumber tekanan inflasi dan mencakup hal-hal yang perlu diperhatikan oleh Pemerintah dan Bank Indonesia untuk membawa inflasi pada tingkat yang rendah dan stabil.
Adapun pokok-pokok kebijakan dalam roadmap pengendalian inflasi difokuskan pada upaya untuk menjaga pasokan dan kelancaran distribusi barang yang ditujukan untuk merespon tekanan inflasi dari komoditas yang cenderung menunjukkan fluktuasi harga yang cukup tinggi  (volatile food). Salah satu bentuk implementasinya adalah dengan pemantauan dan pengamanan distribusi beberapa komoditas strategis seperti beras. Fokus kebijakan ketiga dalam roadmap pengendalian inflasi ini adalah mengarahkan ekspektasi inflasi masyarakat yang saat ini masih berdasarkan kepada inflasi yang telah terjadi (adaptive expectation) ke arah prakiraan dan sasaran inflasi ke depan (forward looking expectation). Kebijakan juga difokuskan untuk menjaga agar permntaan agregat masih dalam batas kapasitas perekonomian nasional khususnya melalui kebijakan moneter dan fiskal. Terakhir, kebijakan dalam roadmap diupayakan untuk menjaga kestabilan nilai tukar dalam rangka meredam dampaknya terhadap inflasi (exchange rate pass-through effect). Untuk mendukung implementasi roadmap diperlukan bauran kebijakan (policy mix) sebagai bentuk dari koordinasi kebijakan antara Pemerintah dan Bank Indonesia. Bauran kebijakan tersebut diperlukan untuk dapat menurunkan tekanan inflasi secara bertahap tanpa menimbulakan dampak negatif yang berlebihan terhadap pertumbuhan ekonomi dan pengangguran.
B.  Inflasi Tahun 2006
            Kebijakan yang diarahkan secara konsisten untuk mencapai sasaran inflasi, kebijakan fiskal yang dilakukan secara hati-hati, serta dukungan langkah-langkah untuk meredam dampak lanjutan kenaikan harga BBM bulan Oktober 2005, berperan penting penting dalam menurunkan inflasi secara signifikan selama tahun 2006. Menurunnya tekanan inflasi juga didukung  nilai tukar rupiah yang terjaga stabil sepanjang tahun 2006. Selain itu, kebijakan administered prices yang minimal dan daya beli masyarakat yang melemah juga mempengaruhi penurunan tekanan inflasi.
            Tingginya tekanan inflasi selepas kenaikan harga BBM Oktober 2005 menuntu Bank Indonesia dan pemerintah mengambil langkah-langkah kebijakan untuk mengendalikan sumber-sumber tekanan inflasi. Hingga Mei 2006 Bank Indonesia secara konsisten tetap menempuh kebijakan moneter ketat guna meredam akselerasi ekspektasi inflasi. Sementara itu, pemerintah tetap menempuh kebijakan fiskal secara hati-hati dalam menyeimbangkan upaya menjaga kesinambungan fiskal dengan tetap memberikan stimulus kepada perekonomian.
            Dalam perkembangannya, berbagai langkah kebijakan yang diambil Bank Indonesia dan pemerintah berhasil mengendalikan sumber-sumber utama tekanan inflasi. Penurunan laju inflasi tahunan juga tercermin pada laju inflasli bulanan, terutama yang disebabkan oleh penurunan laju inflasi kelompok transportasi, komunikasi, dan jasa keuangan. Selain kelompok tersebut, penurunan laju inflasi juga diikuti oleh kelompok perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar serta kelompok makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau.

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Inflasi
          Berdasarkan faktor fundamental, penurunan tekanan inflasi IHK pada 2006 tercermin pada menurunnya inflasi inti. Penurunan inflasi inti terutama disebabkan oleh ekspektasi inflasi masyarakat yang terjaga dan perkembangan eksternal, khususnya nilai tukar yang stabil.
            Berdasarkan faktor non-fundamental, penurunan tekanan inflasi terutama berasal dari rendahnya tekanan inflasi administered prices. Tekanan inflasi tersebut menurun terkait dengan penundaan kenaikan TDL dan tidak adanya implementasi kebijakan administered prices yang strategis lainnya. Sementara itu, kelompok volatile foods mencatat laju inflasi yang stabil sejalan dengan terjaganya kecukupan pasokan dan distribusi komoditas bahan makanan. Selain faktor pasokan dan distribusi, musim kemarau yang berkepanjangan dan penyesuaian harga pembelian pemerintah (HPP) beras pada awal tahun berkontribusi terhadap perkembangan harga komoditas volatile foods.

Faktor Fundamental
·         Ekspektasi Inflasi
Terjaganya ekspektasi inflasi sejalan dengan konsistensi kebijakan Bank Indonesia dan pemerintah. Kenaikan harga BBM pada Oktober 2005 sempat memicu peningkatan ekspektasi inflasi yang berlanjut hingga awal 2006. menyikapi perkembangan tersebut Bank Indonesia dan pemerintah mengambil langkah-langkah untuk mencegah agar peningkatan ekspektasi tidak menimbulkan inflation spiral yang berkelanjutan.

·         Eksternal
            Tekanan inflasi dari faktor eksternal relatif rendah sehubungan dengan perkembangan nilai tukar yang stabil dan imported inflation yang menurun. Tekanan inflasi yang berasal imported inflation, khususnya negara-negara mitra dagang utama, cenderung menurun pada paro kedua 2006.      Ini dipengaruhi oleh penurunan harga minyak dunia sehingga menyebabkan lebih rendahnya harga beberapa komoditas di pasar internasional.
           
·         Faktor Interaksi Sisi Permintaan & Penawaran
Tekanan inflasi yang minimal dari permintaan agregat tercermin dari kesenjangan output yang masih negatif meskipun cenderung menyempit. Melambatnya pertumbuhan ekonomi mengakibatkan rendahnya tekanan inflasi dari sisi permintaan agregat. Namun demikian kemampuan penawaran agregat dalam merespon perkembangan permintaan agregat mengakibatkan perkembangan kesenjangan output cenderung menyempit. Pertumbuhan akumulasi capital melambat, faktor produksi yang kurang efisien, dan produktivitas tenaga kerja yang masih rendah merupakan faktor-faktor yang menyebabkan menyempitnya kesenjangan output tersebut.

Faktor Non-Fundamental
·         Komoditas Yang Harganya Diatur Oleh Pemerintah (Administered Prices)
Rendahnya tekanan inflasi administered price disebabkan keputusan pemerintah menunda kenaikan TDL dan meminimalkan implementasi kebijakan yang strategis lainnya. Inflasi ini juga dipengaruhi kondisi pasokan dan distribusi komoditas minyak tanah dan komoditas gas elpiji  yang sempat langka dibeberapa daerah karena terganggunya jalur distribusi, namun dampaknya terhadap inflasi IHK minimal.
·         Komoditas Yang Harganya Bergejolak (Volatile Foods)
Secara umum laju inflasi volatile food selama 2006 sedikit menurun, sejalan dengan relative terjaganya kecukupan pasokan dan kelancaran distribusi. Meskipun demikian, harga komoditas volatile foods , khususnya beras, sempat mengalami lonjakan akibat musim kemarau yang berkepanjangan dan kebijakan harga. Selain faktor musim, beberapa kebijakan harga mempengaruhi dinamika beras sepanjang 2006.

Evaluasi Pencapaian Sasaran Inflasi 2006
            Sejalan dengan dinamika perekonomia nasional dan perkembangan ekonomi global, pemerintah merevisi sasaran inflasi 2006 yang semula sebesar 6,0% ± 1% menjadi 8,0% ± 1%. Kenaikan harga minyak dunia selama 2005 telah menyebabkan asumsi-asumsi yang digunakan dalam penetapan sasaran inflasi menjadi tidak realistis. Berdasarkan analisis terhadap perkembangan asumsi-asumsi yang mendasari penetapan sasaran inflasi IHK 2006, deviasi antara realisasi inflasi IHK dan sasaran inflasi tersebut diatas terutama disebabkan dua faktor utama.
·         Realisasi laju inflasi inti yang lebih rendah dibandingkan dengan perkiraan pada saat penetapan sasaran. Lebih rendahnya realisasi inflasi inti tersebut disebabkan apresiasi nilai tukar pada 2006 sehingga memberikan sumbangan penurunan inflasi 1,5%.
·         Penundaan kenaikan TDL. Pada saat penetapan sasaran inflasi, TDL diasumsikan naik sekitar 30%. Mempertimbangkan kondisi daya beli masyarakat yang lemah, pemerintah menunda kenaikan  TDL. Penundaan ini memberikan dampak menurunnya tekanan inflasi sekitar 0,9%.
           
Kebijakan yang Ditempuh Dalam Rangka Pengendalian Inflasis



C.  Inflasi Tahun 2007
Secara umum, perkembangan harga barang dan jasa di tingkat konsumen selama tahun 2007 relatif terkendali. Relatif stabilnya inflasi tahun 2007 merupakan hasil kontribusi dan relatif rendahnya inflasi yang terjadi sampai dengan paruh pertama tahun 2007. Laju inflasi IHK tahun kalender sampai dengan Juni 2007 tercatat sebesar 2,08% termasuk didalamnya deflasi 0,16% (mtm) pada bulan April. Laju inflasi paruh pertama periode 2007 tersebut lebih rendah dibandingkan dengan periode yang selama tahun sebelumnya yaitu. Hampir seluruh kelompok barang mengalami penurunan inflasi dibandingkan dengan tahun sebelumnya dengan penurunan tertinggi terjadi pada kelompok bahan makanan yaitu dari 5,16% pada paruh pertama tahun 2006 menjadi 2,45% pada periode yang sama tahun 2007.
Memasuki paruh kedua tahun 2007 (Juli-Desember), perkembangan inflasi mendapat tekanan yang cukup berat. Meningkatnya harga komoditas International seperti minyak mentah, crude palm oil (CPO), gandum, dan emas, yang disertai melemahnya nilai tukar rupiah menjadi pemicu peningkatan inflasi pada paruh kedua tahun 2007.
Selain itu, faktor musiman seperti hari besar keagamaan, permulaan tahun ajaran baru, dan liburan akhir tahun juga memberikan tekanan tambahan kepada inflasi. Dengan perkembangan tersebut, inflasi IHK meningkat pada paruh kedua, yaitu sekitar 4,51%. Peningkatan onflasi tersebut tercermin pada peningkatan inflasi yang terjadi pada hampir seluruh kelompok barang, terutama pada kelompok bahan makanan. Secara keseluruhan tahum 2007 inflasi IHK relatif stabil mencapai 6,59% dibandingkan dengan tahun lalu sebesar 6,60%.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Inflasi :
            Berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhinya, relatif stabilnya inflasi tahun 2007 tersebut lebih disebabkan oleh membaiknya kondisi faktor-faktor nonfundamental serta didukung oleh cukup terkendalinya faktor-faktor fundamental. Dari sisi nonfundamental, penurunan inflasi volatile food dan tidak adanya perubahan kebijakan Pemerintah di bidang administered prices untuk barang-barang strategis, seperti harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dan tariff dasar listrik (TDL), merupakan dua hal utama penyebab membaiknya kondisi inflasi dari faktor nonfundamental. Dari sisi fundamental, masih cukup terkendalinya inflasi inti lebih disebabkan oleh masih terjaganya ekspektasi inflasi dan minimalnya tekanan dari interaksi permintaan dan penawaran agregat. Sementara itu, di tengah meningkatnya imported inflation, tekanan dari sisi eksternal relatif dapat diredam sejalan dengan nilai tukar rupiah yang relatif stabil pada tahun 2007.
v  Faktor Nonfundamental (Shocks)
Komoditas yang Harganya Bergejolak (Volatile Food) perkembangan inflasi volatile food menunjukkan penurunan dari 15,27% tahun lalu menjadi 11,41% tahun 2007. Menurunnya inflasi volatile food utamanya disebabkan oleh menurunnya inflasi komoditas beras sejalan dengan relatif terjaganya pasokan dan kelancaran distribusi. Selain ditunjang oleh peningkatan produksi, upaya untuk menjaga kecukupan pasokan beras juga dilakukan melalui impor beras oleh Bulog. Inflasi komoditas beras, yang memiliki bobot terbesar dalam perhitungan IHK, menurun cukup tajam dari 32,0% tahun 2006 menjadi 8,49% tahun 2007. Penurunan tersebut mulai terlihat pada bulan April setelah Pemerintah memberikan kebebasan kepada Bulog untuk mengimpor beras, terkait upaya menjaga stok beras. Secara keseluruhan, sumbangan komoditas beras terhadap inflasi menurun dari 1,58% tahun 2006 menjadi 0,52% tahun 2007.
Sementara itu, kenaikan harga jagung internasional yang diikuti oleh kenaikan harga pakan ternak mendorong kenaikan harga daging ayam ras dan telur ayam ras masing-masing sebesar 12,30% dan 19,04%. Terjadinya banjir juga memberikan tekanan terhadap inflasi volatile food seperti tercermin pada peningkatan inflasi bawang merah. Pada tahun 2007, inflasi bawang merah tercatat sebesar 124,50% melonjak tinggi dibandingkan dengan tahun lalu yang mencatat deflasi 18,8%.
Dilihat dari sumbangannya terhadap inflasi, komoditas beras masih memberikan sumbangan tertinggi yaitu 0,52%. Sementara itu, komoditas yang inflasinya cukup tinggi -minyak goreng dan bawang merah- jugamemberikan sumbangan yang cukup besar terhadap inflasi volatile food, masing-masing sebesar 0,49% dan 0,47%.

v  Faktor Fundamental
Inflasi Inti
Dari sisi fundamental, perkembangan inflasi inti masih relatif terkendali meskipun menunjukkan peningkatan dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Inflasi inti tercatat sebesar 6,29%, meningkat dari tahun sebelumnya yaitu 6,03%. Lebih tingginya inflasi inti tersebut sebagai akibat dari meningkatnya tekanan imported inflation, terkait dengan kenaikan bebrapa harga komoditas internasional seperti minyak mentah, CPO, emas, dan gandum. Namun, tekanan imported inflation tersebut sedikit teredam oleh relatif stabilnya nilai tukar rupiah. Sementara faktor yang mempengaruhinya inflasi inti lainnya, yaitu faktor interaksi permintaan dan penawaran (ouput gap) serta faktor ekspektasi inflasi, menunjukkan perkembangan yang relatif stabil.
Dilihat dari komoditasnya, pengaruh kenaikan harga international tersebut terlihat pada komoditas emas dan berbagai makanan. Emas perhiasan merupakan komoditas yang memberikan andil tertinggi terhadap inflasi inti yang meningkat tajam menjadi 27,50% dan memberikan sumbangan sebesar 0,33%. Komoditas berbagai makanan juga menunjukkan peningkatan terutama beberapa jenis mie, kue, roti serta tempe.
Ekspektasi inflasi
            Ekspektasi inflasi masyarakat selama tahun 2007 relatif stabil di kisaran 6%-7%. Pada umumnya, pelaku pasar masih meyakini bahwa inflasi tahun 2007 masih berada pada kisaran 6%-7%, atau masih dalam kisaran sasaran inflasi tahun 2007 yang ditetapkan Pemerintah yaitu sebesar 6% ± 1%. Berdasarkan survey Consensus Forecast, perkiraan inflasi tahun 2007 dari beberapa lembaga menunjukkan bahwa ekspektasi inflasi tahun 2007 relatif stabil pada kisaran 6,3%-6,7%. Hasil tersebut juga dikonfirmasi oleh hasil survey yang dilakukan Bank Indonesia yaitu Survei Persepsi Pasar (SPP) yang menunjukkan bahwa mayoritas responden memperkirakan inflasi tahun 2007 berada pada kisaran 6%-7%.
v  Faktor Eksternal
Pada tahun 2007, tekanan inflasi dari faktor eksternal terutama disebabkan oleh peningkatan imported inflation, sebagai dampak dari peningkatan harga komoditas internasional, khususnya harga minyak mentah, CPO, dan gandum. Kenaikan harga komoditas internasional tersebut memberikan tekanan inflasi di berbagai negara seperti tercermin pada peningkatan inflasi mitra dagang. Selanjutnya, kondisi tersebut ditransmisikan pada inflasi di dalam negeri sebagaimana tercermin pada inflasi IHPB Impor yang meningkat dari 7,01% tahun 2006 menjadi 25,60%. Namun demikian, kenaikan IHPB impor tersebut tidak sepenuhnya ditransmisikan. Ke harga barang dalam negeri di tingkat konsumen. Hal itu ditunjukkan oleh peningkatan inflasi komoditas impor tidak sebesar peningkatan inflasi IHPB impor. Laju inflasi komoditas impor IHK sedikit meningkat dari 5,83% tahun 2006 menjadi 7,20% tahun 2007. Pola lebih rendahnya inflasi komoditas impor dibandingkan dengan inflasi IHPB impor ditengarai disebabkan oleh beberapa hal yaitu :
1.      Beberapa barang impor merupakan salah satu komponen input dalam proses produksi sehingga proporsi kenaikan harga barang akhir akan lebih rendah dibandingkan dengan proporsi kenaikan harga barang impor;
2.      Indikasi bahwa produsen berusaha tidak mentransmisikan seluruh kenaikan barang input ke harga jual produk dengan pertimbangan kondisi permintaan konsumen dan kondisi persaingan bebas.
Di sisi lain, perkembangan nilai tukar yang relative stabil mengurangi tekanan yang timbul dari imported inflation. Secara rata-rata, nilai tukar tahun 2007 mencapai Rp 9.140 per dolar meskipun sempat mengalami tekanan akibat krisis subprime mortgage di AS.

v  Faktor Interaksi Sisi Permintaan dan Penawaran
Tekanan inflasi dan interaksi permintaan dan penawaran diindikasikan masih minimal. Kondisi tersebut ditunjukkan oleh kesenjangan output (output gap) yang masih negatif. Hal tersebut disebabkan kemampuan sisi penawaran yang masih dapat mengimbangi kenaikan sisi permintaan. Respons dari sisi penawaran tercermin pada peningkatan indeks produksi dalam survey produksi yang dilakukan oleh BPS. Indeks produksi meningkat dari rata-rata tahun 2006 sebesar 116,9% menjadi 123,12%. Di samping itu, SKDU triwulan IV-2007 menunjukkan kapasitas terpakai sebesar 73,26% yang menggambarkan bahwa sebagian besar industri masih mempunyai ruang untuk meningkatkan produksi apabila terjadi peningkatan permintaan.
Evaluasi Pencapaian Sasaran Inflasi
            Pada tahun 2007 Pemerintah menetapkan sasaran inflasi IHK sebesar 6% dengan deviasi ±1%. Penetapan sasaran ini didasarkan pada prakiraan awal tahun terhadap faktor-faktor fundamental dan nonfundamental (shocks) penyebab tekanan inflasi (Tabel 5.5). Dari sisi faktor fundamental, penyebab inflasi diprakirakan bersumber dari faktor eksternal berupa pelemahan nilai tukar rupiah. Sementara faktor eksternal lainnya, yaitu harga minyak dunia, diprakirakan sebesar $60/barel. Dengan prakiraan tekanan dari kesenjangan output relatif minimal dari faktor ekspektasi inflasi masyarakat diprakirakan masih akan stabil, maka inflasi inti diprakirakan akan berada pada tingkat 6,3%. Dari sisi nonfundamental, inflasi volatile food diprakirakan masih tinggi, meskipun mengalami penurunan. Sementara itu dampak minimal terhadap inflasi IHK 
Seiring dengan komitmen Pemerintah untuk tidak menaikkan harga BBM dan TDL.
            Dalam realisasinya, faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi, baik fundamental maupun nonfundamental, ternyata relatif sama dengan prakiraan semula, sehingga inflasi IHK tahun 2007 berada pada kisaran sasaran yang ditetapkan. Hal tersebut merupakan hasil capaian koordinasi yang semakin baik antara Bank Indonesia dan Pemerintah. Kebijakan moneter yang secara konsisten terus diarahkan untuk pencapaian sasaran inflasi yang telah ditetapkan serta kemampuan Pemerintah dalam mengendalikan gejolak harga-harga melalui berbagai paket kebijakan sektoral merupakan faktor kunci bagi keberhasilan pencapaian sasaran inflasi tahun 2007.
            Dengan perkembangan tersebut, realisasi inflasi inti yang menggambarkan perkembangan faktor fundamental tercatat sebesar 6,29%. Hal tersebut disebabkan oleh masih memadainya respon sisi penawaran agregat terhadap peningkatan permintaan agregat serta ekspektasi inflasi yang relatif stabil. Namun, pada faktor tajam menjadi $72,3/barel, sehingga memberi tekanan pada imported inflation. Meskipun demikian, realisasi nilai tukar rupiah yang relatif stabil membantu mengurangi tekanan imported inflation terhadap nilai domestik.
            Dari faktor nonfundamental, dalam realisasinya komitmen Pemerintah untum tidak mengambil kebijakan administreted prices yang bersifat strategis menyebabkan inflasi administreted price relatif rendah. Sementara itu, realisasi inflasi volatile food menunjukkan masih tinggi meskipun mengalami penurunan. Penurunan inflasi volatile food tersebut telah disebabkan oleh menurunnya inflasi komoditas beras yang bobotnya terbesar dalam keranjang IHK.
Kebijakan yang Telah Diambil dalam Rangka Pengendalian Nilai
            Tercapainya sasaran inflasi tahun 2007 tidak terlepas dari semakin baiknya koordinasi antara Bank Indonesia dan Pemerintah dalam mengendalikan faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi serta menciptakan stabilitas makro ekonomi dan system keuangan. Dari sisi Bank Indonesia, selama tahun 2007 kebijakan moneter yang ditempuh secara konsisten diarahkan untuk mencapai sasaran inflasi yang telah ditetapkan. Hal itu diwujudkan melalui pengelolaan likuiditas yang sesuai dengan kebutuhan perekonomian dan menjaga kestabilan nilai tukar rupiah ditengah gejolak kondisi eksternal yang kurang menguntungkan.
            Dalam rangka mengarahkan ekspektasi inflasi masyarakat ke sasaran inflasi yang telah ditetapkan, Bank Indonesia juga terus berupaya untuk melakukan penguatan strategi komunikasi. Selain melalui siaran pers dan konferensi pers yang secara regular mengumumkan keputusan Rapat Dewan Gubernur (RDG) dan penerbitan Laporan Kebijakan Moneter, penguatan strategi komunikasi tersebut dilakukan melalui program diseminasi kebijakan moneter kepada seluruh stakeholders, seperti akademisi, dunia usaha, wartawan, dan pelaku keuangan yang dilakukan, baik pusat maupun daerah.
            Di sisi lain, Pemerintah beruapay untuk tetap menjaga kesinambungan fiskal seraya terus menjaga kecukupan pasokan barang terutama kebutuhan pokok. Upaya Pemerintah tersebut dilakukan melalui berbagai paket kebijakan sektoral seperti pembebasan pajak pertambahan nilai (PPN) dan pemberian subsidi untuk komoditas pangan yang rentan terhadap shocks seperti minyak goring. Selain itu, Pemerintah berkomitmen untuk menjaga pasokan dan distribusi agar harganya tidk bergejolak seperti pada komoditas beras, minyak tanah, dan gula. Sesuai dengan komitmen awal, Pemerintah menerapkan kebijakan administreted price yang bersifat strategis (BBM dan TDL).
            Komitmen Pemerintah diperkuat melalui pembentukkan Tim Koordinasi Stabilisasi Pangan Pokok yang beraanggotakan departemen teknis terkait dengan tugas antara lain: merencanakan dan merumuskan kebijakan stabilisasi kebutuhan pangan pokok (beras, gula dan minyak goring), mengoordinasi pelaksanaan, serta memantau dan mengevaluasi kebijakan stabilisasi tersebut. Selain itu, Pemerintah juga mengeluarkan Inpres No. 6/2007 yang antara lain berisi kebijakan percepatan pengembangan sektor riil dan pemberdayaan UMKM yang di antaranya adalah paket kebijakan percepatan pembangunan infrastruktur. Dalam rangka koordinasi kebijakan investasi dan paket kebijakan percepatan pembangunan infrastruktur. Dalam rangka koordinasi kebijakan Bank Indonesia dan Pemerintah terus memperkuat koordinasi dalam Tim Pengendalian Inflasi yang bertugas merumuskan kebijakan-kebijakan yang diperlukan untuk mengendalikan tekanan inflasi.


Inflasi Tahun 2008
Dinamika inflasi tahun 2008 banyak dipengaruhi oleh faktor eksternal. Lonjakan harga komoditas global, terutama harga komoditis energi dan pangan mendorong tingginya tekanan inflasi IHK. Tingginya harga minyak dunia bahkan memaksa pemerintah untuk menaikkan harga BBM domestik pada tahun 2008. Tingginya pengaruh global tersebut tercermin pula pada kenaikan inflasi  per kelompok barang dimana inflasi kelompok transpotasi, kelompok bahan makanan, dan kelompok makanan jadi tercatat meningkat cukup signifikan.

Perkembangan Inflasi
Secara keseluruhan, tekanan inflasi pada tahun 2008 cukup tinggi. Inflasi IHK tahun 2008 meningkat tajam menjadi 11,06% dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang tercatat sebesar 6,59%. Sumber tekanan berasal dari tingginya lonjakan harga komoditas global terutama harga komoditas minyak dan pangan. Selain berdampak pada imported inflation yang tinggi, lonjakan harga juga berdampak pada kenaikan inflasi administered seiring dengan kebijakan Pemerintah untuk menyesuaikan harga BBM bersubsidi. Ditambah dengan beberapa permasalahan distribusi dan pasokan, berbagai perkembangan tersebut menyebabkan ekspektasi inflasi yang tinggi dan mempengaruhi pula perkembangan inflasi inti yang meningkat pada tahun 2008.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Inflasi
Berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhinya, peningkatan inflasi IHK tahun 2008 terutama didorong oleh peningkatan inflasi administered price. Kebijakan pemerintah dibidang administered price terutama kenaikan harga BBM bersubsidi pada tanggal 24 Mei 2008 dan meningkatnya harga pangan global menyebabkan tingginya tekanan inflasi. Sementara itu, inflasi inti juga meningkatnya tekanan dari faktor eksternal dan ekspektasi inflasi. Di sisi lain, tekanan dari sisi permintaan sempat meningkat namun melemah kembali pada triwulan IV 2008 sejalan dengan anjloknya permintaan domestik.

a.Faktor Fundamental

Inflasi Inti
Inflasi inti tahun 2008 masih berada pada level yang sangat tinggi terkait dengan tekanan faktor eksternal dan tingginya ekspaktasi inflasi. Tingginya inflasi tersebut akibat dari meningkatnya tekanan imported inflation, terkait dengan kenaikan beberapa harga komoditas internasional seperti minyak mentah, CPO, emas, dan gandum pada paruh pertama 2008. Selain itu, peningkatan harga komonditas internasional dan kebijakan pemerinntah di sektor energi yang berdampak pada meningkatnya ekspektasi inflasi juga memberikan tekanan terhadap peningkatan inflasi.

Ekspektasi inflasi
Meningkatnya ekspektasi inflasi pada Mei 2008, terkait dengan keputusan Pemeritah menaikkan harga BBM subsidi.

Ekternal
Kuatnya dampak faktor ekternal tercermin dari melonjaknya inflasi pada awal tahun 2008. Seiring dengan meningkatnya harga  komoditas internasional. Kenaikan harga komoditas internasional (emas, gandum,kedelai, jagung, CPO, gula) memberikan tekanan inflasi di berbagai negara seperti tercermin dari peningkatan inflasi mitra dagang (AS, Singapura, Jerman, China, Jepang, dan Korea). Peningkatan inflasi tersebut tercerminkan pada Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) Impor. Namun demikian kenaikan IHPB impor tersebut tidak ditransmisikan ke harga barang dalam negeri di tingkat konsumen dengan persentasi yang sama. Hal tersebut disebabkan sebagai komponen biaya untuk memproduksi barang dalam keranjang perhitungan IHK yang berasal dari kandungan lokal.

Prakiraan Nilai Tukar Rupiah
Dari sisi fundamental, hal ini terutama terkait dengan prospek Neraca Pembayaran Indonesia yang masih mengalami tekanan eksternal. Melemahnya kinerja ekspor diprakirakan akan mempengaruhi pasokan valas didalam negeri. Dari sisi aliran modal, berlanjutnya gejolak pasar keuangan global dapat memyebabkan aliran modal asing ke perekonomian domestik berlangsung secara terbatas. Seiring dengan perkembangan ekonomi global yang masih diliputi oleh ketidakpastian yang tinggi, upaya untuk memelihara persepsi positif pelaku pasar menjadi penting.

b.Faktor Nonfundamental
Komonditas yang Harganya Diatur oleh Pemerintah (Administered Prices)
Peningkatan ini tidak terlepas dari dampak tingginya harga minyak internasional yang memaksa pemerintah untuk mengurangi subsidi BBM. Kenaikan harga BBm tersebut juga berdampak pada kenaikan tarif angkutan. Kenaikan BBm tersebut merupakan faktor utama melonjaknya inflasi tahun 2008 dibandingkan tahun sebelumnya.
Tingginya inflasi administered prices juga dipengaruhi oleh kenaikan harga minyak tanah dan LPG serta HJE rokok. Kenaikan harga minyak tanah disebabkan oleh pasokan yang berkurang. Disamping faktor kelangkaan naiknya harga LPG juga disebabkan oleh timbulnya kendala dari distribusi.
Komoditas Pangan yang Harganya Bergejolak (Volatile food)
Meskipun kondisi pasokan bahan pangan cukup terkendali, tingginya tekanan faktor eksternal menyebabkan inflasi volatile food relatif meninggi. Hal tersebut karena meningkatnya harga pangan internasional yang berpengaruh pada harga pangan domestik. Misalnya komonditas minyak goreng, margarine, tepung terigu, kedelai yang mengalami lonjakan cukup tinggi. Semetara harga beras relatif stabil, karena meningkatnya produksi dan pengadaan beras oleh BULOG.
Kebijakan Pemerintah Di Bidang Harga dan Inflasi
Pemerintah melakukan penstabilan harga kebutuhan harga pokok dan juga melakukan sebagai berikut :
  • Kebijakan PPN Ditanggung Pemerintah (PPN-DTP) untuk menjual minyak goreng curah dan kemasan di dalam negeri, serta impor gandum dan penjualan terigu di dalam negeri.
  • Operasi pasar minyak goreng.
  • Pembebasan bea masuk untuk komoditas kedelai.
  • Penurunan PPh import kedelai, gandum dan terigu.
  • Penjualan bahan baku kedelai bersubsidi bagi pengrajin tahu/tempe.
Sedangkan Bank Indonesia, dalam rangka merespon tekanan inflasi ke depan, Bank Indonesia telah menaikkan suku bunga acuan (BI-Rate) sebesar 125 bps selama tahun 2008, menstabilkan nilai tukar. Penstabilan nilai tukar dilakukan melalui sebagai berikut :
  • Intervensi pasar
  • Perpanjangan tenor FX Swap, untuk memenuhi permintaan valuta dollar AS yang sifatnya temporer.
  • Penyediaan pasokan valuta asing bagi perusahaan domestik.
  • Penurunan hasil GWM valuta asing untuk menambah ketersediaan likuiditas valuta dollar AS bank transaksi dengan nasabah.

Inflasi Tahun 2009
Tekanan inflasi pada tahun 2009 secara umum cukup minimal. Hal ini tidak lepas dari pengaruh kebijakan Bank Indonesia dalam memulihkan kepercayaan pasar sehingga nilai tukar rupiah yang berada dalam trend menguat. Kondisi tersebut pada gilirannya dapat mendukung membaiknya ekspektasi inflasi. Penurunan inflasi IHK tahun 2009 didorong oleh penurunan di seluruh komponennya. Berdasarkan kelompok barang, penurunan tertinggi berturut-turut terjadi pada kelompok transpotasi, kelompok perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar serta kelompok  bahan makanan.
Penurunan inflasi kelompok transpotasi terutama berkaitan dengan dampak penurunan harga BBM bersubsidi, dan penurunan tarif angkutan dalam kota dan antar kota. Penurunan inflasi kelompok perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar ini merupakan dampak lancarnya program konversi minyak tanah ke LPG. Sementara itu, penurunan inflasi pada kelompok bahan makanan terkait dengan terjaganya pasokan makanan, terutama beras, serta dampak positif penurunan harga komonditas pangan global.
Tabel Perkembangan Komponen inflasi IHK
Tahun
Inti
volatile Food
administered Price
IHK
inflasi
sumbangan
inflasi
sumbangan
inflasi
sumbangan
Inflasi
2005
9,75
5,66
15,51
2,79
41,71
9,59
17,11
2006
6,03
3,5
15,27
2,75
1,84
0,42
6,6
2007
6,29
3,48
11,41
2,75
3,3
0,37
6,59
2008
8,29
5,48
16,48
2,59
15,99
2,99
11,06
2009
4,28
2,74
3,95
0,67
-3,26
-0,62
2,78
Sumber:BPS (diolah)

Faktor  Yang Mempengaruhi Inflasi :
a.    Faktor Fundamental
Inflasi inti
Penurunan inflasi inti dipengaruhi oleh penurunan imported inflation dan kecenderungan apresiasi nilai tukar. Penurunan imported inflation juga dipengaruhi oleh menurunnya tekanan inflasi komonditas impor.
            Kondisi permintaan domestik yang melambat di tengah produksi domestik yang masih memadai juga memepengaruhi penurunan tekanan inflasi inti. Tekanan inflasi inti juga melemah, karena di pengaruhi oleh menurunnya ekspektasi inflasi. Penurunan ekspeksi inflasi antara lain dipengaruhi oleh kecenderungan aspresiasi nilai tukar, perlambatan kegiatan ekonomi, serta perkembangan positif pada inflasi kelompok administered dan kelompok volatile food.
b.   Faktor Non-Fundamental
Inflasi Kelompok Barang Administered
Penurunan inflasi administered price yang cukup tajam pada tahun 2009 sehingga tercatat deflasi sebesar 3,26%, terutama didorong oleh penurunan inflasi administered strategis. Pada tahun 2009, inflasi administered strategis mencatat deflasi 6,24% (Grafik 1.41). Penurunan ini merupakan dampak positif dari respon Pemerintah menurunkan harga BBM pada tanggal 15 Agustus 2009 sering dengan penurunan harga minyak dunia. Penurunan harga BBM subsidi, kemudian berdampak langsung terhadap penurunan inflasi IHK pada Januari-Febuari 2009 sebesar 0,50%. Penurunan harga yang cukup signifikan tersebut kemudian memberikan dampak penurunan tarif angkutan dalam kota pada bulan Januari-Maret 2009 sebesar 0,44%. Dari kebijakan tersebut, komonditas bensin pada tahun2009 memberikan sumbangan deflasi terbesar yaitu -0,52% akibat penurunan harga BBM baik subsidi maupun nonsubsidi. Komonditas bahan bakar rumah tangga (LPG dan minyak tanah) juga mengalami koreksi harga sebagai dampak positif program konversi minyak tanah ke LPG yang berjalan lancar. Sementara itu pengaruh kebijakan administered prices barang nonstrategis lainnya seperti tarif tol dan tarif air minum PAM juga berdampak minimal terhadap inflasi.
Tabel. Dampak Penurunan Harga BBM Januari 2009
Dampak Penurunan Harga BBM
Bobot (Des 2008)
Penurunan Harga BBM
Harga Rp/I (10 Des 2008)
Harga Rp/I (15 Jan 2009)
Penurunan (%,Jan 2009)
Total Sumbangan ke Inflasi
Dampak Awal
Bensin
3,52
5.500
4.500
-18,18
-0,5
Solar
0,08
4.800
4.500
-6,25
-0,01
Dampak Lanjutan
Angkutan Dalam Kota
3,3


-13,32
-0,44
Angkutan Luar Kota
0,74


-2,49
-0,02
Total
-0,97

Inflasi Kelompok Volatile Food
Inflasi disebabkan oleh dampak positif kebijakan pemerintah menjaga pasokan dan kelancaran distribusi komonditas pangan strategis serta dampak positif harga komonditas internasional yang masih rendah. Kondisi kondusif tersebut mengakibatkan inflasi kelompok volatile food pada tahun 2009 sangat rendah. Inflasi volatile yang rendah tersebut dipengaruhi oleh rendahnya inflasi pada beberapa komoditas utama seperti beras, daging, dan ayam ras, daging sapi serta minyak goreng. Selain itu inflasi yang rendah dipengaruhi oleh peningkatan beras dalam negeri.

Kebijakan Pemerintah Di Bidang Harga dan Inflasi
Dari sisi Bank Indonesia, telah ditempuh kebijakan penetapan BI Rate yang konsisten dengan pencapaian sasaran inflasi dan mendorong pemulihan ekonomi, serta intervensi di pasar valuta asing untuk memperkuat nilai tukar rupiah. Sementara dari sisi Pemerintah telah ditempuh kebijakan penurunan harga BBM yang diikuti dengan penurunan tarif angkutan dan harga komonditas lainnya.
Pencapaian inflasi yang rendah dan stabil tidak hanya dilakukan melalui kebijakna Bank Indonesia, namun juga dengan dukungan pemerintah dalam menjaga keselarasan antara sisi permintaan dan penawaran. Untuk itu, Pemerintah dan Bank Indonesia berupaya meningkatkan koordinasi kebijakan yang diperlukan untuk mengendalikan inflasi. Koordinasi tersebut antara lain diwujudkannya melalui pembentukkan Tim Koordinasi Pemantauan dan Pengendalian Inflasi (TPI) sesuia dengan Keputusan Menteri Keuangan No.635/KM.1/2009 koordinas tersebut dalam rangka mengendalikan sumber-sumber tekanan inflasi, baik terkait dengan sisi pasokan maupun sisi permintaan, yang juga diperkuat dengan koordinasi pengendalian inflasi di daerah.
Dari sisi pasokan, dalam upaya mendukung pengendalian inflasi Pemerintah, melakukan langkah-langkah untuk menjaga kecukupan pasokan dan kelancaran distribusi khususnya bahan makanan dan energi. Beberapa langkah yang ditempuh antara lain sebagai berikut :
  1. Meningkatkan produksi bahan pangan pokok khususnya beras. Hal tersebut juga didukung oleh peningkatan stok beras dan kelancaran penyaluran RASKIN oleh BULOG. Dapat diinformasikan bahwa pengadaan beras oleh BULOG selama tahun 2009 merupakan pengadaan yang tertinggi yang pernah dialami selama ini.
  2. Memperlancar pelaksanaan program konversi energi dari minyak tanah ke LPG sehingga tidak memberikan dampak yang berarti terhadap inflasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar